Resolusi Konflik

Hari ini ada kelas workshop mandatory untuk orang tua kelas year 2 di cikal serpong

Tema nya adalah resolusi konflik, tujuannya agar kita sebagai orang tua bisa melatih anak agar nantinya makin terlatih untuk menyelesaikan konflik sendiri.

Ya namanya manusia kita berhadapan dengan berbagai karakter yang berbeda sehingga terjadinya konflik itu sangat mungkin.

Oke karena ini bahasan untuk anak year 2 maka yang akan dibahas untuk perkembangan anak berumur 7-8 tahun, yang bisa dibilang perkembangan psikologisnya seperti pre-teen namun di skala yang masih lebih mudah untuk diarahkan.

Awalnya kami diminta utk mengindikasi perkembangan emosi dan sosial anak kami.


Kebetulan anak saya yang belum genap berumur 7 tahun jadi masih ada beberapa indikasi yang sepertinya belum keluar. Tidak apa2 karena pada dasarnya memang tahap perkembangan anak2 pun berbeda-beda.

Ketika anak mulai bersekolah, dia sebenarnya sudah mulai belajar bersosialisasi yang sesungguhnya mungkin biasa disebut “playground politics” bahwa ada loh anak yang sebesar dia yang mempunyai kemauan yg sama dengan dia dan disitu dia mulai belajar apa itu konsep berbagi dll.

Ketika sudah berumur 7-8 mereka biasanya sudah mengalami konflik, karena memang tahap pemikiran mereka juga sudah lebih tinggi.

 
Mereka sudah mulai berpikir “what if” atau bisa mengkoneksikan pemikiran sebab akibat “kalau begini akan bisa begini”.  Kadang mereka juga memulai untuk memanipulasi cerita, namun karena pemikiran abstraknya masih kurang jadi pasti akan mudah terdeteksi ketika mereka mulai berbohong. 

Mereka juga merupakan observer yang baik, jadi sering kali pemecahan konflik yang mereka lakukan itu mengikuti apa yg mereka lihat. Regardless apa yang mereka dengar dari kita, mereka akan melihat juga pada prakteknya kita bagaimana dalam menghadapi sebuah konflik. Sebagai orang tua jadi peer banget nih untuk membiasakan penerapan resolusi konflik agar mereka terbiasa. Jangan Double Standard, terkadang ortu tidak sadar melakukan hal ini terutama ketika menghadapi sibling rivalry. Contoh jika sang adik menangis bahkan tanpa melihat terlebih dahulu kita langsung teriak “kakaak, ade nya kenapa” <— aduh ini peer bgt asli πŸ™ˆπŸ™ˆ

Padahal seharusnya didatangi dan berusaha ditanya kedua nya, setidaknya dia akan merasa bahwa dia juga punya hak untuk didengar dan mengekspresikan emosi nya.

Dalam tahap perkembangan umur 7-8 tahun ini penting sekali untuk mereka bisa memahami perasaan dan juga diajarkan empati agar ketika menginjak masa remaja mereka sudah terbekali dengan kemampuan mengatasi konflik.

Anak pada umur 7-8 tahun ini juga mulai tertarik pada hal2 yang abstrak misalnya kematian / monster. Dan mereka pun mulai senang berinteraksi dengan orang2 yang lebih dewasa dari mereka.

Pemahaman moral mereka juga banyak yang masih berdasarkan individual, misalnya “Dia itu baik karena mau pinjemin aku mainan” atau “Dia gak asik karena gak mau pakai warna yg sama”

Suasana hati mereka juga sangat mudah berubah, misal hari ini sebel sama salah satu temannya ternyata besok sudah baik-baik saja dan main bareng lagi. 

Dan satu lagi mereka sudah mulai suka berkompetisi sehingga salah satu cara berinteraksi dengan mereka adalah dengan cara memberikan pilihan, dengan begitu mereka akan merasa punya kontrol atas apa yg mereka mau.

Selain memahami perkembangan anak usia 7-8, kita juga harus paham bagaimana mendeteksi seorang anak ini sedang mengalami konflik atau bullying.

Dan tidak perlu merasa sendiri, karena pada rentang umur yang sama biasanya hampir semua anak mengalami hal yang sama.

Konflik merupakan pertentangan mental yang disebabkan oleh kebutuhan nafsu, harapan dan keinginan dari dalam ataupun luar

Macam-macam konflik 


Untuk Peer presure, kita perlu membedakan apakah anak betul-betul perlu atau hanya ingin. Caranya bisa dengan membahas dulu secara lebih detail akan apa yg dia minta dan coba diberi beberapa opsi.

Jika memang anak benar-benar menginginkan suatu hal, bisa dilatih agar dia bisa meyakinkan orang tua nya bahwa hal yang dia mau itu memang benar-benar harus dia miliki lalu bersama-sama membuat kesepakatan.

Contoh:

“Aku mau baju yang starwars” bisa mulai dibahas dengan cara bertanya “kenapa kamu menginginkan nya” kalau misal jawaban dia karena ada temannya yang pakai dan dia suka bisa ditanya juga apakah dia benar-benar suka atau hanya karena semua orang memakainya. Lalu misal bisa kita kasih opsi kalau baju yg karakter lainnya bagaimana, sepertinya keren juga, biarkan dia memahami dirinya dan pilihan tersebut dia akan merasa kita ada mendengarkan dia dan dia boleh menggunakan kontrol dia untuk memilih yang dia mau.

Ada beberapa hal yang sebaiknya dihindari ketika kita sedang membantu anak menghadapi konflik


Di dalam sebuah konflik anak yang penting buat orang tua adalah “HADIR” dan “MENDENGARKAN” sebelum harus benar-benar terlibat. 

Contoh: anak cerita bahwa dia kesal dengan salah satu temannya, sebagai orang tua sebaiknya kita coba gali dulu kenapa kesalnya dan minta si anak jika dia ada di posisi temannya itu bagaimana. Dan bantu dia agar dia mencari solusi nya sendiri, dan kita bisa bantu dengan memberi opsi.

“Hadir” itu wajib untuk segala situasi sehingga anak merasa orang tua nya reliable. Sehingga ketika saatnya remaja dimana biasanya mereka merasa ingin mandiri dia sudah terbekali dengan kemampuan resolusi konflik.

Kita bisa ajarkan anak untuk bisa mengungkapkan emosi yang dia rasakan dengan juga ber-empati terhadap orang lain.

Mungkin bagi anak yang belum terbiasa mengungkapkan emosi nya akan lebih lama prosesnya, tidak apa karena kunci dari penyelesaian konflik adalah sabar.

Salah satu tools yang bisa dipakai dalam menghadapi konflik adalah I-Message (Saya Merasa) dimana anak harus belajar jujur terhadap perasaannya

I FEEL – WHEN – I WANT – BECAUSE

Saya merasa – saat/ketika – saya ingin – karena

Contoh: “saya sedih ketika kamu memukul saya, saya ingin kamu bilang saja kalau mau pinjam karena saya pun pasti akan meminjamkan”

Disitu terlihat perbedaan antar orang tua “hadir” dan “terlibat”, dimana kadang jika memang konfliknya tidak membutuhkan keterlibatan orang tua dan kita membiasakan anak untuk menyampaikan kekesalan dengan cara u-message, kadang bisa memperparah.

Contoh u-message : “kamu itu nyebelin, kamu itu jahat, kamu itu dst..”

Ada kalanya orang tua perlu terlibat, itu jika didalam keadaan seperti dibawah ini


Didalam menghadapi resolusi konflik kita bisa berperan sebagai mediator dimana kita harus dapat berperan sebagai pihak yang netral sekalipun yang dihadapi adalah anak kita sendiri.

Kunci agar mediasi bisa tercapai dengan efektif adalah ketika pihak2 yang berkonflik sudah mulai turun emosi dan bisa diajak diskusi.

Dari hasil penelitian jika seorang sedang marah lalu lawannya menanggapi dengan cara mengajak diskusi utk membahas kekesalannya biasanya secara serta merta emosi nya bisa menurun, karena dia merasa didengarkan.


Yang harus kita ingat ketika menjadi mediator adalah: mendengarkan, meng-encourage kedua pihak untuk berbicara, berusaha mengeluarkan empati dari kedua pihak (jika mereka bertukar posisi apa yg mereka rasakan) dan yang pasti TANPA MENG-INTERUPSI.



Diharapkan resolusi muncul dari pihak yang berkonflik agar komitmen nya tinggi.

Ketika sesi di kelas, para orangtua diminta mencoba role play menjadi anak yang berkonflik dan mediator, per grup.


Kebetulan saya kebagian jadi melissa, disitu terasa bgt ketika kita jadi salah satu pihak yg berkonflik dan mediatornya terburu-buru ingin menyelesaikan mencari solusi ketika akhirnya saya menyetujui solusinya sebenarnya masih ada ganjelan (bener gak ya jane mau mengikuti komitmen itu). Karena solusi yang ditawarkan bukan keluar langsung dari mulut jane. Haha ini role play tapi terlalu menjiwai kayaknya :)) 

Oiya resolusi konflik itu sebenarnya pilihan, dimana kita memang harus paham benar situasi nya, jadi “CHOOSE THE RIGHT BATTLE” 

Di cikal, anak year 2 diminta untuk bisa berlatih membuat resolusi konflik sehingga nanti year 3 mereka bisa mulai menjadi peer mediator yang membantu memediasi konflik adik-adik kelasnya.

Terkadang ada anak yg biasanya sering berkonflik dia mendaftar jadi peer mediator, itu tidak apa-apa karena bisa melatih dia untuk jujur pada diri sendiri dan mampu menempatkan diri sebagai pihak yang netral.

Ada kalanya konflik anak bukan hanya dengan temannya tetapi dengan kita sendiri dan disaat itu kit harus siap juga untuk menempatkan diri untuk bisa berdiskusi, membahas dengan anak, mendengarkan pendapat dia lalu kemudian bersama-sama menciptakan essential agreement. Yg perlu diingat adalah setelah kita menurunkan emosi kita terlebih dahulu (time out).

Berkomunikasi dengan anak itu penting, membiasaka diri mengungkapkan emosi agar anak juga paham tentang emosi yang dia rasakan. Jadi berkomunikasi dengan anak bukan hanya instruksi saja. 

Karena anak jika terlalu banyak diberi instruksi dan peraruran kecenderungan dia untuk melawan lebih tinggi karena dia merasa tidak diberi ruan untuk bergerak.

Sekarang kita coba mengenal bullying:


Salah satu ciri dari bulying ini adalah salah seorang yang merasa lebih lemah mendapat perlakuan tidak menyenangkan dan dilakukan berulang.


Di Cikal, jika terlihat ada indikasi bulying maka baik pelaku maupun yang terkena dampak itu sama-sama dianggap sebagai korban untuk kemudian berusaha di mediasi untuk dicarikan jalan keluarnya.

Kenapa pelaku bully dianggap korban juga, karena pada dasarnya seorang anak melakukan pembulian biasanya itu merupakan impact dari apa yang dia alami juga. Biasanya anak tersebut mendapat sebuah masalah, yang ketika dia tidak punya power untuk mengekpresikannya maka dia mencari temannya yang lebih lemah dan melampiaskannya ke dia.

Pembulyan itu bisa muncul atau tidak tergantung bagaimana institusi sekolag menciptakan suasana belajarnya.

Ini cara-cara di cikal untuk mengantisipasi bullying:

Nah setelah selesai workshop, anak2 kelas year 2 dihadirkan ke ruangan lalu kami berlatih untuk membuat resolusi konflik.

Karena saya hadir dengan suami, ini jadi lebih menarik, ketika anak kami mengungkapkan konflik yang dia hadapi cara saya dan suami ketika menjadi mediator itu berbeda.

Saya akui saya masih harus belajar karena saya berkecenderungan untuk membantu memberi solusi agar cepat beres.

Jadi sebaiknya untuk menjadi mediato itu dilakukan satu orang saja, atau jika memang kedua orang tua ini sudah benar-benar kompak πŸ˜…

Ada satu hal yg buat saya ini penting sekali dan baru saya sadari:

MEMINTA MAAF itu merupakan hal yang paling terakhir dilakukan ketika sedang dalam konflik. Karena sebaiknya minta maaf itu dilakukan jika konflik sudah benar-benar selesai dan dari dalam hati pihak yang berkonflik. Jadi minta maaf bukan cara menyelesaikan konflik tetapi benar-benar hasil dari penyelesaian konflik.

Yah selama ini sering banget minta maaf biar konfliknya cepet beres padahal masih ada yg ganjel πŸ˜…πŸ˜…πŸ˜…

Hehe sekian sharing saya semoga gak ngebingungin. (Kalau kalian hadir di kelasnya sih mungkin bakal lebih jelas) Saya berusaha menuliskan kembali apa yg saya dengar dan tangkap jika ada kesalahan mohon dikoreksi ^_^

Yaa kalau mau ada yg ditanya2 hayu atuhlah ngumpul2 aja #lah :)) 

Dan yang pasti doakan sayah bisa berlatih dengan lebih baik mengenai resolusi konflik ini, karena skill resolusi konflik ini sebenernya lifetime skill, sementara saya dibesarkan dengan tidak biasa mengungkapkan emosi apalagi menyelesaikan konflik dengan benar 😞😞

*malah curhat*


3 responses to “Resolusi Konflik

Leave a comment